ilmu seni harus dibedakan dengan seni. Seni itu soal
penghayatan, sedangkan ilmu adalah soal pemahaman. Seni untuk
dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami. Orang dapat ahli dalam
menikmati seni, dan mampu menunjukkan karya seni yang baik, tetapi kalau
ditanya mengapa sebuah karya seni bagus dan yang lain kurang bagus,
belum tentu ia mampu menjawabnya. Padahal, pilihannya terhadap aneka
karya seni yang baik selalu tepat. Orang jenis ini memang penggemar seni
dan dapat menilai seni berdasarkan pengalamannya dalam bergaul dengan
berbagai karya seni. Tetapi, seorang ahli seni yang sesungguhnya akan
dapat memilih karya seni yang baik dan sekaligus mempertanggungjawabkan
mengapa karya itu dianggapnya bagus. Di satu pihak terdapat peristiwa
cinta seni tanpa memahami, dan di pihak lain mencintai seni dengan
pemahaman. Cinta tanpa memahami dapat tidak setia dan tidak awet.
Dalam
pengalaman hidup kesenian di Indonesia, sepintas lalu dapat
disimpulkan lebih banyak pencinta seni yang kurang memahami ilmu seni
daripada pencinta seni yang memahami seni lengkap dengan ilmunya.
Sudah menjadi tugas pengulas atau kritikus seni untuk bertanggung jawab
atas penghayatan dan penikmatan serta pemahaman seni. Ini semua dapat
dikembalikan kepada sejarah penghayatan seni di Indonesia.
Orang
Indonesia lebih dahulu menikmati karya seni tingkat dunia daripada
mempelajari ilmu seni dunia. Kita lebih dahulu menjadi penikmat seni
dan kemudian berkembang menjadi seniman, bukan menjadi ahli seni
ilmiah. Dan seniman Indonesia sudah barang tentu mempelajari pula
aneka ilmu seni untuk menunjang penciptaan karya seninya,
tetapi mereka mempergunakan kekayaan ilmu seni untuk dirinya sendiri
saja. Memang tugas seniman mencipta karya seni dan bukan menulis ilmu
seni. Dapat ditunjukkan berbagai contoh bahwa kritikus seni yang
berwibawa di kalangan seniman adalah para seniman itu sendiri yang
sempat menuliskan karya kritiknya. Bahkan kritik seniman yang
disuarakan secara lisan lewat wawancara atau berita kadang menjadi
kritik yang amat berwibawa. Ini menunjukkan bahwa para seniman besar
kita sebenarnya juga ilmuwan dan ahli seni, hanya saja mereka tak
sempat atau tak mau menuliskan ilmunya itu dalam bentuk buku.
Apa
sajakah ilmu seni itu? Seperti berbagai objek lain dalam lingkungan
hidup manusia, seni juga dapat menjadi objek ilmu. Seni dapat ditinjau
dari segi estetikanya, yang berarti menjadi objek ilmu sekaligus
filsafat. Seni juga dapat dianalisis berdasarkan bentuk formalnya.
Seni dapat pula menjadi objek sejarah. Selain itu, ada juga sosiologi
seni, antropologi seni, psikologi seni, perbandingan seni, kritik
seni. Belum lagi aspek ekonomi seni, soal manajemen seni, pemasaran
seni, konservasi seni, sistem sponsor seni dll. Ilmu-ilmu seni terus
berkembang. Untuk filsafat seni saja dapat ditulis puluhan buku dari
berbagai objek formalnya* Belum yang sosiologi seni.
Ilmu-ilmu
seni tersebut masih harus didistribusikan lagi menjadi beberapa
bidang seni khusus. Ada ilmu-ilmu seni rupa, seni teater, seni tari,
seni sastra, seni musik, seni arsitektur, dll. Tiap-tiap bidang seni
tersebut memiliki ilmunya masing-masing.
Selanjutnya, melihat kenyataan betapa kayanya bidang ilmu-ilmu seni itu, tiba-tiba saja kita menjadi begitu miskin dalam ilmu seni. Berapa buku telaah ilmu yang pernah ditulis tentang seni rupa kita? Sudah adakah buku mengenai ilmu seni patung, ilmu seni teater, ilmu seni film? Sudah adakah buku sejarah seni musik kita? Sudah adakah buku sosiologi sastra Indonesia? Sudah adakah buku antropologi seni teater Indonesia?
Selanjutnya, melihat kenyataan betapa kayanya bidang ilmu-ilmu seni itu, tiba-tiba saja kita menjadi begitu miskin dalam ilmu seni. Berapa buku telaah ilmu yang pernah ditulis tentang seni rupa kita? Sudah adakah buku mengenai ilmu seni patung, ilmu seni teater, ilmu seni film? Sudah adakah buku sejarah seni musik kita? Sudah adakah buku sosiologi sastra Indonesia? Sudah adakah buku antropologi seni teater Indonesia?
Ilmu-ilmu seni di
Indonesia belum berkembang. Padahal, perguruan tinggi seni sudah cukup
banyak, bahkan telah banyak pula yang membuka program SI dan S2. Di
perguruan tinggi seni, sudah barang tentu ilmu-ilmu seni
dikembangkan, sebab perguruan tinggi seni bukan sekadar sanggar yang
mencetak seniman pencipta seni. Untuk menjadi seniman,
orang bahkan tak perlu sekolah atau memasuki perguruan tinggi seni.
Sejarah membuktikan bahwa banyak seniman besar kita tidak pemah
memasuki perguruan tinggi seni. Mereka mempelajari seni secara
otodidak. Tetapi, sebuah perguruan tinggi seni yang hanya mengajarkan
teknik seni untuk dapat menciptakan karya seni tentu tidak pada
tempatnya. Sanggar-sanggar seni bahkan mungkin lebih berhasil dalam
hal seperti itu, karena di sana ada sistem cantrik yang terus-menerus
belajar dari sang guru, yakni sang seniman itu sendiri. Dalam
perguruan tinggi seni, pengajaran dilakukan secara klasikal dan
reguler. Intensitas kontak dengan sang guru yang juga seniman tidaklah
besar.
Di perguruan tinggi seni
seharusnya dikembangkan ilmu-ilmu seni. Ilmuwan seni dapat kita
harapkan muncul dari sana, di samping juga seniman seni. Disiplin
ilmiah seni dapat diberikan di samping juga disiplin kreativitas seni.
Kalau ini dijalankan, akan dapat dilahirkan ilmuwan seni atau seniman
yang memiliki wawasan seni secara ilmiah. Dari sana dapat lahir
seniman yang sarjana, tetapi juga sarjana seni. Perguruan tinggi seni
adalah tempat mempelajari seni secara ilmiah. Di sana juga terjadi
proses pengayaan pengalaman seni. Di samping itu, juga berlangsung
proses penciptaan karya seni. Memang belum tentu semua mahasiswa akan
menjadi seniman, sebab untuk menjadi seniman tak ada sekolahnya dan
resepnya. Seniman itu tumbuh dalam keunikan dan keasliannya sendiri,
dan itu tak bisa diajarkan, tetapi harus dicari sendiri oleh sang
calon seniman. Kalau dapat diajarkan, yang lahir adalah seniman
akademis yang seragam atau sealiran. Dan kesenimanan tak pernah
bersifat komunal. Seniman itu individuality, unik, dan otentik.
Yang
jelas, perguruan tinggi seni dapat mencetak ilmuwan seni, karena
disiplin ilmu itu sifatnya objektif. Dari perguruan tinggi senilah
dapat diharapkan lahir banyak karya ilmiah seni. Ilmu seni tidak
dapat ditumbuhkan mendadak. Ilmu seni didahului oleh sejumlah
penelitian seni yang panjang dan beragam. Dari berbagai data seni dan
kesimpulan ilmiahnya tadi barulah dapat disusun suatu ilmu. Berbeda
dengan pencipta karya seni. la tak perlu menunggu rekan-rekan lain
mencipta karya seni. la dapat langsung berkarya, juga kalau hanya
seorang diri. Tetapi, ilmuwan seni tak mungkin bekerja sendiri. la
selalu membutuhkan referensi. Semakin banyak referensi, dapat
diharapkan telaahnya semakin tajam dan objektif. Kenyataan di
lapangan berbicara lain. Ilmu-ilmu seni di Indonesia masih mencari
bentuknya. Penelitian masih jarang dilakukan dan sifatnya juga masih
sporadis. Belum ada jurnal ilmiah sosiologi seni, misalnya. Atau jurnal
sejarah seni. Yang ada barn jurnal seni yang amat umum. Bahkan jurnal
seni tari, jurnal seni rupa, jurnal seni teater belum muncul.
Padahal, jurnal dapat membantu pertumbuhan ilmu seni.
Buku-buku
pengantar seni secara umum atau secara khusus juga belum muncul.
Memang ada yang terjemahan, tapi ini pun jumlahnya belum memadai.
Yang kita perlukan sebenarnya ilmu seni Indonesia. Ilmu-ilmu seni
Indonesia dapat menggarap objek seni etnis, seni kraton atau klasik,
seni modern. Ini pun belum tuntas dilakukan. Belum ada telaah filsafat
seni etnis, filsafat seni istana, filsafat seni modern. Masih harus
disusun pula ilmu-ilmu teater etnik atau kraton (wayang, misalnya).
Masih
banyak kerja yang mesti dilakukan untuk mengembangkan ilmu-ilmu seni
di Indonesia. Kegunaan ilmu seni bukan saja bagi seniman atau penikmat
seni, tetapi juga bagi berbagai lembaga yang mengurus kesenian, dan
sudah barang tentu demi kemajuan ilmu seni itu sendiri
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Seni Musik /
Seni Rupa /
Seni Tari
dengan judul "ILMU-ILMU SENI". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://sen1budaya.blogspot.com/2013/08/ilmu-ilmu-seni.html
0 komentar "ILMU-ILMU SENI", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment