Friday, December 14, 2012

TARI TOPENG MALANG


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Senyum topeng yang kini menangis,


Tari Topeng Malang yang begitu membudaya di daerah Malang dulu pernah meraih puncak kejayaannya pada tahun 70-an. Kesenian ini mampu  membuat tenar nama Kota Malang sebagai rujukan kota wisata di wilayah Jawa Timur. Namun bagaimana nasib kesenian daerah yang pernah menjadi ikon Kesenian daerahnya kini ?
Ekspresi batin mereka di panggung even itu terlihat sumringah meskipun dalam hati sayu. Gerakan apik yang dimainkan oleh 12 pelakonnya sarat nilai estetis, namun terasa berat dijalankan ketika mereka mengaca pada kehidupan sehari-hari mereka sebagai pahlawan kesenian daerahnya.

(Tarian) Topeng Malang yang selama ini menjadi pemicu semangat dalam menghadapi aral rintangan kehidupan kini kurang mampu “memperjuangkan” nasib mereka. Namun di benak mereka tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk saling bernegosiasi nasib agar seni ini tetap hidup dan menghidupi mereka. Di tengah momen Malang Kembali ini, para seniman ini bergulat dengan sang waktu agar tetap eksis di tengah hiruk pikuk pengunjung.
Ya, itulah nasib yang dialami oleh karya kesenian ini sekarang. Nasib para pejuang karya budaya inipun sekarang terkatung-katung tergilas oleh roda zaman tergantikan oleh ganasnya alur globalisasi. Seakan bertolak belakang dengan yang ada, Peni Suparto, walikota Malang, yang berperan sebagai pembuka acara ini mengeluarkan statement “sebagai warga kota Malang yang baik, kita harus siap senantiasa menjunjung hasil karya sejarah kota tercinta ini.” Namun di balik panggung pementasan, Handoyo sebagai pemimpin rombongan penari topeng mengatakan bahwa kontribusi riil yang didapat dari masyarakat dibandingkan dengan apa yang mereka perjuangkan dari usaha menampilkan kesenian ini sangat pas-pasan. “Ya, mungkin hanya cukup untuk menghidupi keluarga selama 5 hari”, ucapnya diiringi senyum kepasrahan. Dulu, ketika di masa jaya-jayanya hampir seluruh warga Malang mengenal dan menyukai kesenian ini. Gerakan, sanepan, lelucon dan berbagai atribut kesenian yang berbasis seni Jawa ini begitu diagungkan.
Ditemui di kediamannya, Karimun (89 th), seorang sesepuh topeng Malang yang sering berujar “endi arek-arek iki?” (di mana sekarang anak-anak/para penerus?) Seakan batinnya menangis jika mengenang memori manis masa lalunya. Berumah di lokasi sentral kesenian topeng Malang, dusun Kedungmonggo, desa karang pandan, kecamatan pakis aji dia sering tergolek karena tubuhnya telah digandrungi oleh penyakit tua.
Dua tahun yang lalu saya bertemu dengan sosok yang biasa dipanggil Mbah Mun itu. Waktu itu, dia terlihat masih bersemangat untuk memahat topeng dengan tangannya sendiri. “Biasanya satu topeng yang terbuat dari kayu nangka waktu buatnya 3 hari. Kalo waktu muda dulu, 1 hari satu topeng bisa”. Mbah Mun juga berkisah, “Dulu jika kita melakukan pementasan di sanggar, jumlah penonton seakan membludak sampai keluar halaman sanggar. Tapi sekarang hanya sampai tangga sanggar saja” . Menurutnya pemerintah kurang memperhatikan nasib kami sebagai seniman. Padahal pada waktu pemilihan Umum banyak calon pemimpin itu sowan kesini. Lali be`e.` (lupa barangkali). Ketika ditanya tentang harapannya t okoh yang menjadi sesepuh ilmu kejawen di Malang ini  dengan arif menjawab,  “Wong urip kuwi kudu seng sabar lan nrimo” (orang hidup itu harus selalu sabar dan menerima).
Diapun tidak pernah menuntutnya di kemudian hari. Sehingga apa-apa yang telah dijanjikan tidak kunjung terwujud. Sebenarnya, masih banyak para pahlawan kesenian yang nasibnya sama dengan Mbah Karimun, Handoyo dan kawan-kawannya. Selanjutnya, tinggal pemerintah yang seharusnya turut serta mengibarkan bendera topeng Malang sehingga para pemain tidak sibuk dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Dan hasilnya, kesenian nini tidak lekang ditelan zaman.



1 comment: