Senyum topeng yang kini menangis,
Tari Topeng Malang yang begitu membudaya di daerah Malang dulu pernah
meraih puncak kejayaannya pada tahun 70-an. Kesenian ini mampu membuat
tenar nama Kota Malang sebagai rujukan kota wisata di wilayah Jawa
Timur. Namun bagaimana nasib kesenian daerah yang pernah menjadi ikon
Kesenian daerahnya kini ?
Ekspresi
batin mereka di panggung even itu terlihat sumringah meskipun dalam
hati sayu. Gerakan apik yang dimainkan oleh 12 pelakonnya sarat nilai
estetis, namun terasa berat dijalankan ketika mereka mengaca pada
kehidupan sehari-hari mereka sebagai pahlawan kesenian daerahnya.
(Tarian) Topeng Malang yang selama ini menjadi pemicu semangat dalam menghadapi aral rintangan kehidupan kini kurang mampu “memperjuangkan” nasib mereka. Namun di benak mereka tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk saling bernegosiasi nasib agar seni ini tetap hidup dan menghidupi mereka. Di tengah momen Malang Kembali ini, para seniman ini bergulat dengan sang waktu agar tetap eksis di tengah hiruk pikuk pengunjung.
Ya, itulah nasib yang dialami oleh karya kesenian ini sekarang. Nasib
para pejuang karya budaya inipun sekarang terkatung-katung tergilas
oleh roda zaman tergantikan oleh ganasnya alur globalisasi. Seakan
bertolak belakang dengan yang ada, Peni Suparto, walikota Malang, yang
berperan sebagai pembuka acara ini mengeluarkan statement “sebagai warga
kota Malang yang baik, kita harus siap senantiasa menjunjung hasil
karya sejarah kota tercinta ini.” Namun di balik panggung pementasan,
Handoyo sebagai pemimpin rombongan penari topeng mengatakan bahwa
kontribusi riil yang didapat dari masyarakat dibandingkan dengan apa
yang mereka perjuangkan dari usaha menampilkan kesenian ini sangat
pas-pasan. “Ya, mungkin hanya cukup untuk menghidupi keluarga selama 5
hari”, ucapnya diiringi senyum kepasrahan. Dulu, ketika di masa
jaya-jayanya hampir seluruh warga Malang mengenal dan menyukai kesenian
ini. Gerakan, sanepan, lelucon dan berbagai atribut kesenian yang
berbasis seni Jawa ini begitu diagungkan.
Ditemui
di kediamannya, Karimun (89 th), seorang sesepuh topeng Malang yang
sering berujar “endi arek-arek iki?” (di mana sekarang anak-anak/para
penerus?) Seakan batinnya menangis jika mengenang memori manis masa
lalunya. Berumah di lokasi sentral kesenian topeng Malang, dusun
Kedungmonggo, desa karang pandan, kecamatan pakis aji dia sering
tergolek karena tubuhnya telah digandrungi oleh penyakit tua.
Dua tahun yang lalu saya bertemu dengan sosok yang biasa dipanggil
Mbah Mun itu. Waktu itu, dia terlihat masih bersemangat untuk memahat
topeng dengan tangannya sendiri. “Biasanya satu topeng yang terbuat dari
kayu nangka waktu buatnya 3 hari. Kalo waktu muda dulu, 1 hari satu
topeng bisa”. Mbah Mun juga berkisah, “Dulu jika kita melakukan
pementasan di sanggar, jumlah penonton seakan membludak sampai keluar
halaman sanggar. Tapi sekarang hanya sampai tangga sanggar saja” .
Menurutnya pemerintah kurang memperhatikan nasib kami sebagai seniman.
Padahal pada waktu pemilihan Umum banyak calon pemimpin itu sowan
kesini. Lali be`e.` (lupa barangkali). Ketika ditanya tentang harapannya
t okoh yang menjadi sesepuh ilmu kejawen di Malang ini dengan arif
menjawab, “Wong urip kuwi kudu seng sabar lan nrimo” (orang hidup itu
harus selalu sabar dan menerima).
Diapun tidak pernah menuntutnya di kemudian hari. Sehingga apa-apa
yang telah dijanjikan tidak kunjung terwujud. Sebenarnya, masih banyak
para pahlawan kesenian yang nasibnya sama dengan Mbah Karimun, Handoyo
dan kawan-kawannya. Selanjutnya, tinggal pemerintah yang seharusnya
turut serta mengibarkan bendera topeng Malang sehingga para pemain tidak
sibuk dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Dan hasilnya, kesenian nini
tidak lekang ditelan zaman.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Budaya /
Seni Rupa
dengan judul "TARI TOPENG MALANG". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://sen1budaya.blogspot.com/2012/12/tari-topeng-malang.html
he he
ReplyDelete