1. Latar Belakang
Berbicara mengenai pendidikan seni rupa, tidak lepas
dari pengertian pendidikan itu sendiri. Education
menurut Oxford Dictionary;
education
Pronunciation:/ɛdjʊˈkeɪʃ(ə)n/
noun
[mass noun] the process of receiving or giving systematic instruction, especially at
a school or university:a course of education
a process of teaching,
training and learning, especially in schools or colleges, to improve knowledge
and develop skills
(http://oald8.oxfordlearnersdictionaries.com/dictionary/education)
Sedangkan pendidikan
menurut kamus besar Bahasa Indonesia sendiri berarti;
pendidikanpen.di.dik.an
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy)
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy)
Tetapi jika kita berbicara mengenai pendidikan secara
praktikal tentunya tidak bisa sedangkal itu merunut apa yang dituliskan dalam
kamus. Kamus hanya berarti pengertian secara literal dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan dapat berarti luas karena menyangkut manusia di dalamnya. Manusia
adalah spesies (katakanlah begitu) yang amat kompleks, amat rumit, dan amat
dinamis. Bukan hanya fisikalnya, kompleksitas juga terjadi di wilayah
non-material dari manusi itu sendiri, seperti kesadaran (consciousness).
“As
used here the term consciousness refers to all those
attributes we usually associate with a sentient human such as
thought, emotion, memory, awareness, intelligence, self- knowledge,
a sense of being, and so on.” (Pepperel, 2003:13)
Jika kita semua mengamini hal itu maka kita akan
dengan mudah berpendapat bahwa pendidikan juga haruslah seperti itu, haru
kompleks, harus rumit, dan dinamis. Dalam hal apa? Pendidikan harusnya dapat
menjangkau dimensi lain dari sekedar definisi, menjangkau dimensi lain dari
sekedar tata aturan baku. Pendidikan harus dinamis sedinamis orang-orang yang
berada di dalamnya.
Pendidikan bukan agama atau dogma yang tertutup dengan
segala gugatan dan perubahan, pendidikan harusnya sebaliknya terbuka dengan
segala perubahan yang terjadi. Lebih khusus lagi kita bicara mengenai
pendidikan seni rupa. Pendidikan seni rupa mengusung sebuah keilmuan besar
dalam wilayah seni dan rupa. Kedua hal yang juga tidak memiliki definisi
tunggal, wilayah multi tafsir, yang sampai saat ini menimbulkan kebingungan dan
kerancuan di sana-sini. Hanya orang-orang yang berada di lingkarannyalah yang
kemudian akan menemukan alurnya, menikmati, melihat, bahkan ikut terseret.
Dunia seni berbeda dengan dunia lain seperti sains,
dan sebagainya. Pendidikan seni juga kemudian menjadi wilayah yang sangat
khusus, dengan problem yang khusus pula. Pendidikan seni adalah wilayah yang
unik sehingga tidak semua orang dapat memahfuminya. Tidak masalah sesungguhnya,
karena begitulah seni.
Jika
kita lihat sejarah, lebih spesifik lagi, sekolah seni berawal di Barat sana,
kita semua tahu Bauhaus sebagai pelopor institusi yang berpijak pada keilmuan
seni rupa dan desain. Bauhaus adalah sekolah desain pertama yang didirikan di Weimar, Jerman
oleh Walter Groupis di tahun 1919. Bauhaus menjadi sekolah desain paling
ternama di abad ke-20. Gropius mengubah sekolah seni lokal menjadi Staatliches Bauhaus, sehingga kemudian
menjadi pusat ide-ide mutakhir seni maupun desain. Selanjutnya Bauhaus pindah
ke Dessau, dibuka pada 4 Desember 1926.
Bangunan barunya, mewakili cita rasa baru, gaya baru,
era baru (new age), yang dirancang oleh Groupis yang juga merupakan
kontributor penting era modern. Pada tahun 1932, Bauhaus akhirnya dibawa ke
Berlin. Bauhaus baru tersebut menyediakan gaya hidup modern yang sangat lengkap
bagi staff dan siswanya. Furniture, studio, hingga kantin menggunakan desain
dari Marcel Breur, kepala workshop.
Lampu oleh Marianne Brandt. Gropius mengajak beberapa
praktisi seni penting di era modern seperti Wassily Kadinsky, Johannes Itten,
Paul Klee, dan Herbert Bayer. Sejarah pasca perang, Bauhaus menekankan pada
satu gerakan modern pendekatannya kepada desain, sebuah dedikasi pada pure
geometric form (bentuk geometris murni) yang berbasis pada bentuk lingkaran
dan persegi, warna dasar merah, biru, dan kuning, material modern dan industrial
technique.
Di Negeri sendiri kita punya Persagi yang didirika
oleh tokoh seni rupa, bapak seni rupa modern S. Sudjojono. Di Persagi inilah
kemudian pendidikan seni rupa kita terbangun. Bukan hanya diajari skill melukis, darwing, dan lain-lain
tetapi juga diperkenalkan kepada wacana seni rupa, serta pembentukan karakter
kesenimanan. S. Sudjojono yang dikenal dengan jiwa ketoknya (ekspresi dari
jiwa) tersebut kemudian menjadi tokoh, pendidik, sekaligus role model bagi para siswanya. Yang kemudian menjadi cikal bakal
ASRI atau sekarang lebih dikenal dengan ISI Jogjakarta. Dan hingga saat ini
karakter, serta identitas kesenimannya masih terasa.
1. Persoalan-Persoalan yang Dihadapi Dalam Dunia Pendidikan Seni Rupa di
Indonesia
Dalam makalahnya, Prof. M. Dwi Marianto, dosen ISI
Jogjakarta menyebutkan dengan nada kerasa bahwa pendidikan seni saat ini tengah
menghadapi sebuah problem besar secara umum.
“Dunia pendidikan seni
rupa dewasa ini rasanya sudah kehilangan rasa seninya. Dilihat dari cakrawala
quantum, yang tergarap dan terasa hanyalah aspek partikelnya saja; aspek
gelombangnya – rasa, ruh, kedalaman kualitas, atmosfer kreatifitasnya yang
puitik – tidak mendapatkan ruang dan perhatian nan cukup. Sebagai ilustrasi,
lembaga pendidikan seni kini sudah tak berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan
non-seni, karena sistem yang tersentralisasi dan tren sekarang mengkondisikan para
pejabat dan staff pengajar harus menghabiskan energi, waktu, dan perhatian guna
untuk mengerjakan formalisme akademik”. (Marianto, 2012:1)
Lebih
jauh lagi menurutnya ritual-ritual akademik ini yang terus-menerus dilakukan
dikhawatirkan akan mereduksi kualitas keilmuan dari seorang staff pengajar, dan
berimbas pada kualitas anak didik serta penihilan aura kreatifitas akan
berimbas pada kondisi stagnan kampus seni rupa, yang seharusnya tumbuh subur
kreatifitas dan ide-ide mutakhir dalam bidang seni dan desain.
“…creativity
is in essence no different from any other thought
process; creativity is thinking in general and thinking in
general is creative. But creativity is not just about thinking —
it is as much about doing, and creative acts are almost by definition
productive acts in that they modify the world in some way.
Creative thoughts alone are of little use or interest to anyone
unless in some way expressed.” (Pepperel, 2003:13)
Secara garis besar dapat kita lihat bahwa persoalan
tersebut telah menjadi isu umum di setiap sekolah seni rupa di Indonesia, yang
sebaiknya bisa kita bersama mencari jalan keluar.
Problem lainnya yang bisa penulis lihat dari
gejala-gejala yang terlihat adalah persoalan motifasi, bahwa tujuan pendidikan
bukan hanya satu pihak memberi dan lainnya menerima, sebuah proses linear yang
tertutup, tetapi juga persoalan memotifasi agar proses pengajaran menjadi dua
arah atau based on discussion. Jadi
teringat sebuah ungkapan terkenal yang diungkpakan oleh filsuf besar
Aristoteles kepada para muridnya, ia berkata; saya bukan guru yang memberikan
ilmu, saya adalah layaknya seorang bidan yang membantu anda sekalian melahirkan
pemikiran-pemikiran hebat.
Terakhir yang menurut penulis cukup penting untuk
dibahas adalah persoalan dunia profesi. Dalam seni rupa khsususnya seni rupa
murni persoalah keprofesian akan menjadi isu yang rumit sekaligus
membingungkan. Bagaimana menjadi seniman setelah lulus nanti? Atau bagaimanan
menjadi seniman yang terkenal? Bagaimana sekolah memfasilitasi kesenimanan saya
nanti? Sesungguhnya pertanya-pertanyaan itu kerap menguak. Lalu apa yang harus
dilakukan? Dunia profesi dalam hal ini adalah sebuah wilayah yang harus dekat
dengan lembaga pendidikan karena dunia profesi inilah tempat pertaruhan lulusan
juga reputasi lembaga itu sendiri. Seorang pengajar dalam hal ini memiliki
tugas beratnya sebagi role model yang
kemudian akan ditiru anak-anak didiknya kelak. Hal seperti ini telah
berlangsung dan akan terus seperti itu. Sebuah tanggung jawab yang berada di
atas pundak kita para pengajar.
2. Pendidikan dan Kapital
Kapital memang merupakan aspek penting dalam
penyelenggraan pendidikan, terutama lembaga pendidikan seperti sekolah. Kapital
juga adalah kewajaran dalam segala lini kehidupan hari-hari ini. Kapital
sendiri bermakna sebagai modal pokok dalam perniagaan, yang berarti proses
menghasilkan modal guna menjalankan sebuah proses dalam hal ini pendidikan.
Sebagai sebuah lingkaran mutualisme antara penyelenggaraan pendidikan untuk
menghasilkan modal untuk kembali dapat menyelengrakan proses pendidikan. Sebuah
hubungan ideal mutualisme inilah yang kemudian harus menjadi basic capital dalam lembaga pendidikan.
Kapital sendiri dibedakan menjadi 4 kategori,
diantarnya;
§ Financial
capital, which represents obligations, and is liquidated as money
for trade, and owned by legal entities. It is in the form of capital assets, traded
in financial markets. Its market value is not based on the historical
accumulation of money invested but on the perception by the market of its
expected revenues and of the risk entailed.
§ Public capital, which encompasses the
aggregate body of government-owned assets that are used to promote private
industry productivity, including highways, railways, airports, water treatment
facilities, telecommunications, electric grids, energy utilities, municipal
buildings, public hospitals and schools, police, fire protection, courts and
still others.
§ Natural capital, which is inherent in
ecologies and protected by communities to support life, e.g., a river that
provides farms with water.
§ Spiritual
capital, which refers to the shower, influence and dispositions
created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and
practice.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Capital_%28economics%29)
Dilihat dari kategori di atas dapat kita jadikan
psoses kapital dalam pendidkan ke arah Public
Capital, atau sebuah layanan jasa kepada masyarakat. Kapital model ini
tentunya harus pula melibatkan respon masyarakat, serta pemerintah dalam hal
ini untuk dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai.
Kapital yang kita maksud tentunya masih dalam tataran
penjaga nilai-nilai sebagai salah satu bagian terpenting dari sebuah lembaga
pendidikan. Kapital dalam hal ini dipertimbagkan sebagai bahan bakar katakanlah
demikian, agar penyelenggrakan pendidikan dapat berjalan baik. Agar lembaga
pendidkan mampu berdiri sebagai media public
improvement, sumbangan terhadap masyarakat dunia dan kebudayaan pada
umunya.
Kapital adalah alat untuk meningkatkan mutu anak
didik, mengembangkan keilmuan, berkontribusi penuh dalam peradaban, seni, dan
keilmuan secara lebih luas.
3. Menumbuhkan Paradigma Baru
Sebagai Solusi
Dalam
makalahnya, Dolorosa Sinaga mengungkapkan solusi-solusi sebagai sebuah
paradigma baru dalam mengatasi berbagai macam problematika dalam pendidikan
senirupa di Indonesia. Sinaga menyebutkan diantaranya;
a. Membentuk Asosiasi Perguruna Tinggi Seni Rupa
Indonesia dengan tujuan membangun sinergi dengan pemerintah untuk melakukan
perubahan yang signifikan dalam pendidikan senirupa Indonesia. Mengajak
pemerintah untuk mendukung program revitalisasi, terutama dalam mengantisipasi
perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat.
b. Membangun kurikulum yang lebih kontekstual dan
bersifat reciprocal dalam kaitannya
dengan kemajuan teknologi dan perkembangan praksisi seni rupa.
c. Mencari
paradigma baru dalam melakukan pengajaran, pendidikan, dan trasformasi
pengetahuan, baik yang bersifat teori maupu praktek: program kuliah live-in, program kuliah interaktif lokal
dan internasional, yang memperkenalkan subyek pengetahuan lain yang bisa punya
kaitan dengan bidang seni rupa, dan mendorong kerja kreatif interdisipliner.
d. Membentuk
identitas seniman sebagai warga dunia yang mengakar pada bumi budaya negerinya,
pada nilai kemanusiaan, pada nilai etika, nilai kesetaraan dan nilai
kemerdekaan.
Mungkin itulah yang memang haru kita semua
pertimbangkan dalam uaya meningkatkan, mamajukan, dan menjadikan pendidikan
senirupa sebagai dalam satu track besar guna perannya dalam peradaban manusia.
4. Sumber
(1999): Teaching Art Since
1950, National Gallery of Art, Washington
Barnard, A, Spencer, J (1996):
Enciclopedia of Social and Cultural Antropology, Routledge, London
Lacey, A (1976): Dictionary
of Philosophy, Routledge, New York
Pepperel, R (2003): The
Posthuman condition, Consciousness Beyond the Brain, Intellect, Bristol
Sugiharto, B (2008): Seni,
Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Epistetika
Marianto, D (2012): Dimana
Rasa dan Sikap Kritis Dunia Pendidikan Seni, Makalah untuk Seminar Nasional:
Kondisi Global, dikaji dari pandanga dunia pendidikan
Sinaga, D (2012): Mencari
Paradigma Baru Pendidikan Seni Rupa, Makalah untuk Seminar Nasional: Kondisi
Global, dikaji dari pandanga dunia pendidikan
http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy
kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy
http://en.wikipedia.org/wiki/Capital_%28economics%29
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Seni Rupa
dengan judul "PENDIDIKAN SENIRUPA YANG ‘IDEAL’, ADAKAH?". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://sen1budaya.blogspot.com/2012/08/pendidikan-senirupa-yang-ideal-adakah.html
0 komentar "PENDIDIKAN SENIRUPA YANG ‘IDEAL’, ADAKAH?", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment