Thursday, August 16, 2012

PENDIDIKAN SENIRUPA YANG ‘IDEAL’, ADAKAH?


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

1.   Latar Belakang
Berbicara mengenai pendidikan seni rupa, tidak lepas dari pengertian pendidikan itu sendiri. Education menurut Oxford Dictionary;
education
 Pronunciation:/ɛdjʊˈkeɪʃ(ə)n/
noun
[mass noun] the process of receiving or giving systematic instruction, especially at a school or university:a course of education
a process of teaching, training and learning, especially in schools or colleges, to improve knowledge and develop skills
(http://oald8.oxfordlearnersdictionaries.com/dictionary/education)
Sedangkan pendidikan menurut kamus besar Bahasa Indonesia sendiri berarti;
pendidikanpen.di.dik.an
[n] proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik
(http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy)
Tetapi jika kita berbicara mengenai pendidikan secara praktikal tentunya tidak bisa sedangkal itu merunut apa yang dituliskan dalam kamus. Kamus hanya berarti pengertian secara literal dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan dapat berarti luas karena menyangkut manusia di dalamnya. Manusia adalah spesies (katakanlah begitu) yang amat kompleks, amat rumit, dan amat dinamis. Bukan hanya fisikalnya, kompleksitas juga terjadi di wilayah non-material dari manusi itu sendiri, seperti kesadaran (consciousness).
“As used here the term consciousness refers to all those attributes we usually associate with a sentient human such as thought, emotion, memory, awareness, intelligence, self- knowledge, a sense of being, and so on.” (Pepperel, 2003:13)
Jika kita semua mengamini hal itu maka kita akan dengan mudah berpendapat bahwa pendidikan juga haruslah seperti itu, haru kompleks, harus rumit, dan dinamis. Dalam hal apa? Pendidikan harusnya dapat menjangkau dimensi lain dari sekedar definisi, menjangkau dimensi lain dari sekedar tata aturan baku. Pendidikan harus dinamis sedinamis orang-orang yang berada di dalamnya.
Pendidikan bukan agama atau dogma yang tertutup dengan segala gugatan dan perubahan, pendidikan harusnya sebaliknya terbuka dengan segala perubahan yang terjadi. Lebih khusus lagi kita bicara mengenai pendidikan seni rupa. Pendidikan seni rupa mengusung sebuah keilmuan besar dalam wilayah seni dan rupa. Kedua hal yang juga tidak memiliki definisi tunggal, wilayah multi tafsir, yang sampai saat ini menimbulkan kebingungan dan kerancuan di sana-sini. Hanya orang-orang yang berada di lingkarannyalah yang kemudian akan menemukan alurnya, menikmati, melihat, bahkan ikut terseret.
Dunia seni berbeda dengan dunia lain seperti sains, dan sebagainya. Pendidikan seni juga kemudian menjadi wilayah yang sangat khusus, dengan problem yang khusus pula. Pendidikan seni adalah wilayah yang unik sehingga tidak semua orang dapat memahfuminya. Tidak masalah sesungguhnya, karena begitulah seni.
Jika kita lihat sejarah, lebih spesifik lagi, sekolah seni berawal di Barat sana, kita semua tahu Bauhaus sebagai pelopor institusi yang berpijak pada keilmuan seni rupa dan desain. Bauhaus adalah sekolah desain pertama yang didirikan di Weimar, Jerman oleh Walter Groupis di tahun 1919. Bauhaus menjadi sekolah desain paling ternama di abad ke-20. Gropius mengubah sekolah seni lokal menjadi Staatliches Bauhaus, sehingga kemudian menjadi pusat ide-ide mutakhir seni maupun desain. Selanjutnya Bauhaus pindah ke Dessau, dibuka pada 4 Desember 1926.
Bangunan barunya, mewakili cita rasa baru, gaya baru, era baru (new age), yang dirancang oleh Groupis yang juga merupakan kontributor penting era modern. Pada tahun 1932, Bauhaus akhirnya dibawa ke Berlin. Bauhaus baru tersebut menyediakan gaya hidup modern yang sangat lengkap bagi staff dan siswanya. Furniture, studio, hingga kantin menggunakan desain dari Marcel Breur, kepala workshop.
Lampu oleh Marianne Brandt. Gropius mengajak beberapa praktisi seni penting di era modern seperti Wassily Kadinsky, Johannes Itten, Paul Klee, dan Herbert Bayer. Sejarah pasca perang, Bauhaus menekankan pada satu gerakan modern pendekatannya kepada desain, sebuah dedikasi pada pure geometric form (bentuk geometris murni) yang berbasis pada bentuk lingkaran dan persegi, warna dasar merah, biru, dan kuning, material modern dan industrial technique.
Di Negeri sendiri kita punya Persagi yang didirika oleh tokoh seni rupa, bapak seni rupa modern S. Sudjojono. Di Persagi inilah kemudian pendidikan seni rupa kita terbangun. Bukan hanya diajari skill melukis, darwing, dan lain-lain tetapi juga diperkenalkan kepada wacana seni rupa, serta pembentukan karakter kesenimanan. S. Sudjojono yang dikenal dengan jiwa ketoknya (ekspresi dari jiwa) tersebut kemudian menjadi tokoh, pendidik, sekaligus role model bagi para siswanya. Yang kemudian menjadi cikal bakal ASRI atau sekarang lebih dikenal dengan ISI Jogjakarta. Dan hingga saat ini karakter, serta identitas kesenimannya masih terasa.

1.    Persoalan-Persoalan yang Dihadapi Dalam Dunia Pendidikan Seni Rupa di Indonesia

Dalam makalahnya, Prof. M. Dwi Marianto, dosen ISI Jogjakarta menyebutkan dengan nada kerasa bahwa pendidikan seni saat ini tengah menghadapi sebuah problem besar secara umum.
“Dunia pendidikan seni rupa dewasa ini rasanya sudah kehilangan rasa seninya. Dilihat dari cakrawala quantum, yang tergarap dan terasa hanyalah aspek partikelnya saja; aspek gelombangnya – rasa, ruh, kedalaman kualitas, atmosfer kreatifitasnya yang puitik – tidak mendapatkan ruang dan perhatian nan cukup. Sebagai ilustrasi, lembaga pendidikan seni kini sudah tak berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan non-seni, karena sistem yang tersentralisasi dan tren sekarang mengkondisikan para pejabat dan staff pengajar harus menghabiskan energi, waktu, dan perhatian guna untuk mengerjakan formalisme akademik”. (Marianto, 2012:1)
Lebih jauh lagi menurutnya ritual-ritual akademik ini yang terus-menerus dilakukan dikhawatirkan akan mereduksi kualitas keilmuan dari seorang staff pengajar, dan berimbas pada kualitas anak didik serta penihilan aura kreatifitas akan berimbas pada kondisi stagnan kampus seni rupa, yang seharusnya tumbuh subur kreatifitas dan ide-ide mutakhir dalam bidang seni  dan desain.
“…creativity is in essence no different from any other thought process; creativity is thinking in general and thinking in general is creative. But creativity is not just about thinking — it is as much about doing, and creative acts are almost by definition productive acts in that they modify the world in some way. Creative thoughts alone are of little use or interest to anyone unless in some way expressed.” (Pepperel, 2003:13)
Secara garis besar dapat kita lihat bahwa persoalan tersebut telah menjadi isu umum di setiap sekolah seni rupa di Indonesia, yang sebaiknya bisa kita bersama mencari jalan keluar.
Problem lainnya yang bisa penulis lihat dari gejala-gejala yang terlihat adalah persoalan motifasi, bahwa tujuan pendidikan bukan hanya satu pihak memberi dan lainnya menerima, sebuah proses linear yang tertutup, tetapi juga persoalan memotifasi agar proses pengajaran menjadi dua arah atau based on discussion. Jadi teringat sebuah ungkapan terkenal yang diungkpakan oleh filsuf besar Aristoteles kepada para muridnya, ia berkata; saya bukan guru yang memberikan ilmu, saya adalah layaknya seorang bidan yang membantu anda sekalian melahirkan pemikiran-pemikiran hebat.
Terakhir yang menurut penulis cukup penting untuk dibahas adalah persoalan dunia profesi. Dalam seni rupa khsususnya seni rupa murni persoalah keprofesian akan menjadi isu yang rumit sekaligus membingungkan. Bagaimana menjadi seniman setelah lulus nanti? Atau bagaimanan menjadi seniman yang terkenal? Bagaimana sekolah memfasilitasi kesenimanan saya nanti? Sesungguhnya pertanya-pertanyaan itu kerap menguak. Lalu apa yang harus dilakukan? Dunia profesi dalam hal ini adalah sebuah wilayah yang harus dekat dengan lembaga pendidikan karena dunia profesi inilah tempat pertaruhan lulusan juga reputasi lembaga itu sendiri. Seorang pengajar dalam hal ini memiliki tugas beratnya sebagi role model yang kemudian akan ditiru anak-anak didiknya kelak. Hal seperti ini telah berlangsung dan akan terus seperti itu. Sebuah tanggung jawab yang berada di atas pundak kita para pengajar.

2.    Pendidikan dan Kapital

Kapital memang merupakan aspek penting dalam penyelenggraan pendidikan, terutama lembaga pendidikan seperti sekolah. Kapital juga adalah kewajaran dalam segala lini kehidupan hari-hari ini. Kapital sendiri bermakna sebagai modal pokok dalam perniagaan, yang berarti proses menghasilkan modal guna menjalankan sebuah proses dalam hal ini pendidikan. Sebagai sebuah lingkaran mutualisme antara penyelenggaraan pendidikan untuk menghasilkan modal untuk kembali dapat menyelengrakan proses pendidikan. Sebuah hubungan ideal mutualisme inilah yang kemudian harus menjadi basic capital dalam lembaga pendidikan.
Kapital sendiri dibedakan menjadi 4 kategori, diantarnya;
§  Financial capital, which represents obligations, and is liquidated as money for trade, and owned by legal entities. It is in the form of capital assets, traded in financial markets. Its market value is not based on the historical accumulation of money invested but on the perception by the market of its expected revenues and of the risk entailed.
§  Public capital, which encompasses the aggregate body of government-owned assets that are used to promote private industry productivity, including highways, railways, airports, water treatment facilities, telecommunications, electric grids, energy utilities, municipal buildings, public hospitals and schools, police, fire protection, courts and still others.
§  Natural capital, which is inherent in ecologies and protected by communities to support life, e.g., a river that provides farms with water.
§  Spiritual capital, which refers to the shower, influence and dispositions created by a person or an organization’s spiritual belief, knowledge and practice.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Capital_%28economics%29)
Dilihat dari kategori di atas dapat kita jadikan psoses kapital dalam pendidkan ke arah Public Capital, atau sebuah layanan jasa kepada masyarakat. Kapital model ini tentunya harus pula melibatkan respon masyarakat, serta pemerintah dalam hal ini untuk dapat berperan aktif sebagai penjaga nilai.
Kapital yang kita maksud tentunya masih dalam tataran penjaga nilai-nilai sebagai salah satu bagian terpenting dari sebuah lembaga pendidikan. Kapital dalam hal ini dipertimbagkan sebagai bahan bakar katakanlah demikian, agar penyelenggrakan pendidikan dapat berjalan baik. Agar lembaga pendidkan mampu berdiri sebagai media public improvement, sumbangan terhadap masyarakat dunia  dan kebudayaan pada umunya.
Kapital adalah alat untuk meningkatkan mutu anak didik, mengembangkan keilmuan, berkontribusi penuh dalam peradaban, seni, dan keilmuan secara lebih luas.

3.    Menumbuhkan Paradigma  Baru Sebagai Solusi

Dalam makalahnya, Dolorosa Sinaga mengungkapkan solusi-solusi sebagai sebuah paradigma baru dalam mengatasi berbagai macam problematika dalam pendidikan senirupa di Indonesia.  Sinaga menyebutkan diantaranya;
a.     Membentuk Asosiasi Perguruna Tinggi Seni Rupa Indonesia dengan tujuan membangun sinergi dengan pemerintah untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam pendidikan senirupa Indonesia. Mengajak pemerintah untuk mendukung program revitalisasi, terutama dalam mengantisipasi perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat.
b.     Membangun kurikulum yang lebih kontekstual dan bersifat reciprocal dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi dan perkembangan praksisi seni rupa.
c.     Mencari paradigma baru dalam melakukan pengajaran, pendidikan, dan trasformasi pengetahuan, baik yang bersifat teori maupu praktek: program kuliah live-in, program kuliah interaktif lokal dan internasional, yang memperkenalkan subyek pengetahuan lain yang bisa punya kaitan dengan bidang seni rupa, dan mendorong kerja kreatif interdisipliner.
d.     Membentuk identitas seniman sebagai warga dunia yang mengakar pada bumi budaya negerinya, pada nilai kemanusiaan, pada nilai etika, nilai kesetaraan dan nilai kemerdekaan.
Mungkin itulah yang memang haru kita semua pertimbangkan dalam uaya meningkatkan, mamajukan, dan menjadikan pendidikan senirupa sebagai dalam satu track besar guna perannya dalam peradaban manusia.

4.    Sumber
(1999): Teaching Art Since 1950, National Gallery of Art, Washington
Barnard, A, Spencer, J (1996): Enciclopedia of Social and Cultural Antropology, Routledge, London
Lacey, A (1976): Dictionary of Philosophy, Routledge, New York
Pepperel, R (2003): The Posthuman condition, Consciousness Beyond the Brain, Intellect, Bristol
Sugiharto, B (2008): Seni, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Epistetika
Marianto, D (2012): Dimana Rasa dan Sikap Kritis Dunia Pendidikan Seni, Makalah untuk Seminar Nasional: Kondisi Global, dikaji dari pandanga dunia pendidikan
Sinaga, D (2012): Mencari Paradigma Baru Pendidikan Seni Rupa, Makalah untuk Seminar Nasional: Kondisi Global, dikaji dari pandanga dunia pendidikan
http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy
kamusbahasaindonesia.org/pendidikan#ixzz1qHPhUiFy
http://en.wikipedia.org/wiki/Capital_%28economics%29

0 komentar "PENDIDIKAN SENIRUPA YANG ‘IDEAL’, ADAKAH?", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment