Sunday, May 26, 2013

Membuat Sketsa dengan Tusuk Sate dan Tinta China

Langsung aja kita lihat penampakan yang kita butuhkan dalam membuat sket.

Namanya juga kita buat karya pake tusuk sate, jadi hal yang paling pokok adalah si tusuk satenya itu.






Kemudian jangan lupa juga tinta china. Atau banyak orang juga yang menyebutnya tinta bak. Sama saja. Ini ada contoh dari tinta china.


Ini ada dua jenis tinta china, yang botolnya bulat dengan merk berwarna kuning itu lebih kental dan warnanya lebih pekat dan hitam. Dan yang satunya lebih encer dan warnanya tidak terlalu pekat. Namun keunggulannya jika kita menggunakannya secara tipis atau kita menambahkan air, akan ada kesan berwarna abu-abu mendekati biru. Jadi akan menimbulkan kesan bervariasi dengan menggunakan satu media.
Berikutnya bahan yang dibutuhkan yaitu kertas.


Kertas juga sangat penting dalam membuat sket. Karena benda ini adalah benda paling simpel dan paling mudah dicari dan dibawa. Bisa menggunakan kertas gambar ataupun kertas HVS.

Kemudian papan sket juga jangan lupa. Ini hanya untuk tambahan saja. Tidak terlalu wajib juga. Namun alangkah baiknya jika kita membawa papan sket agar kita menjadi lebih mudah dan lebih santai dalam membuat karya. Juga berfungsi untuk menahan kertas agar tidak kabur2 apabila ada angin (sebagai penjepit kertas.




Dan satu lagi, lap/tisu.




Sekarang tinggal kita membuat alat gambar dari tusuk satenya saja.
Yang dibutuhkan untuk membuat tusuk sate menjadi alat sket adalah cutter! Atau bisa juga menggunakan benda sejenis.

Langkah pertama, ambil sebuah tusuk sate.

Kemudian, ujung tusuk sate yang lancip belah menjadi dua. Setelah terbagi dua (hanya bagian ujung, tidak semuanya)




Kemudian dibelah lagi sehingga terbagi menjadi empat..


Setelah itu sisi-sisi bagian ujung yang telah terbelah beri gurat2 dengan menggunakan cutter agar tinta lebih bisa terserap.




Kalo sudah melakukan langkah-langkah di atas, berarti tinggal menuju lokasi yang ingin di sket!!



Ini ada beberapa hasil dari tusuk sate dan tinta china..

 

SKETSA



Sekelumit Tentang Sketsa

Oleh: Aryo Sunaryo




catatan: Tulisan ini pernah dibuat dalam rangka penerbitan Hasil Lomba Sketsa Arsitektur Stasiun KA Tawang Semarang, 12 Desember 1999.
Untuk melengkapinya, pada blog ini ditambahan gambar ilustrasinya.


Untuk melengkapinya, pada blog ini ditambahan gambar ilustrasinya.


I. Sketsa atau sket (sketch) secara umum dikenal sebagai bagan atau rencana bagi sebuah lukisan. Dalam pengertian itu, sketsa lebih merupakan gambar kasar, bersifat sementara, baik di atas kertas maupun di atas kanvas, dengan tujuan untuk dikerjakan lebih lanjut sebagai lukisan. Mengingat sederhana penampilannya, sketsa lebih merupakan “persiapan” dari lukisan yang akan datang, demikian tulis Putu Wijaya.

Menurut Meyers (1969) sketsa merupakan gambar catatan. Ia membedakannya dengan gambar karya lengkap dan gambar karya studi. Dalam karya studi, gambar merupakan eksplorasi teknis atau bentuk untuk penyelesaian lukisan, patung, dan lain-lain. Biasanya penggambarannya menyoroti rincian dari bagian-bagian tertentu, misalnya anatomi kepala, tangan atau bahu, draperi, dan sebagainya dalam mempelajari bentuk orang. Gambar semacam ini misalnya, dikerjakan oleh Leonardo da Vinci (1452-1519) dan Michaelangelo (1475-1564).





Gambar karya lengkap merupakan karya final, gambar sebagai karya jadi. Sebagai ungkapan dalam bentuk gambar, ia berfungsi sebagai sarana komunikasi, mendeskripsikan dan menjelaskan objek-objek secara visual, sebagaimana karya ilustrasi visual. Gambar karya lengkap berdiri sendiri sebagai karya yang selesai, seperti karya-karya lukis atau patung.

Dalam sketsa, kata Meyers, terdapat keinginan pembuatnya untuk merekam kejadian atau objek yang dilihat sebagai momen yang menarik perhatian penggambarnya. Sketsa mungkin dibuat untuk memenuhi kebutuhan sebagai latihan, main-main, atau semacam ungkapan pribadi. Dalam hal yang terakhir, karya sketsa dipandang setara dengan lukisan. Oleh karenanya, Agus Dermawan T ketika mengomentari sketsa-sketsa karya Ipe Ma’roef (1938 -) seorang empu sketsa Indonesia, mengungkapkan sebagai lukisan garis. Ungkapan ini sekaligus menegaskan, bahwa garis perannya amat menonjoldalam sebuah sketsa.

Meski bagi Fajar Sidik (1981) garis atau penggarisan merupakan unsur yang paling menonjol hakiki dalam seni lukis, namun pada dasarnya terdapat perbedaan antara sketsa dengan lukisan. Ada ungkapan yang menarik yang disampaikan oleh Kusnadi, seorang seniman dan kritikus seni rupa. Sketsa ibarat gesekan biola tunggal, sedangkan lukisan merupakan sebuah orkes yang lengkap. Ungkapan ini menyatakan dua hal, pertama, sketsa sebagai ungkapan estetis dihadirkan secara sangat sederhana karena menggunakan garis secara hemat dan selektif. Umumnya sketsa dikerjakan dengan cepat dan secara spontan. Jika sketsa dibangun oleh unsur-unsur garis sebagai medium utamanya, lukisan merupakan ungkapan lengkap, dalam arti penyajiannya dibangun dengan menggunakan unsur-unsur lain, seperti tekstur, kedalaman/ruang, gelap-terang, dan warna di samping unsur garis. Bahkan dalam lukisan, unsur warna menjadi penting sebagai unsur tambahannya (Schinneller,1966).

Kedua, baik sketsa maupun lukisan merupakan ungkapan artistik yang bersifat pribadi. Aspek ungkapan yang bersifat pribadi ini lebih penting dari pada aspek lain yang bersifat informatif-naratif. Melalui sketsa, pembuatnya dapat mengungkapkan pengalaman yang bersifat pribadi dengan total. Sebagaimana gesekan biola yang mendayu mengiris kalbu, sketsa dapat menggetarkan perasaan orang yang melihatnya, sama halnya dengan sebuah lukisan. Jadi, sketsa bukan lagi sebagai bagian dari perencanaan sebuah lukisan, melainkan memiliki otonomi sendiri, berdiri sejajar dengan lukisan. Dengan demikian, sikap berkarya sketsa sama dengan ketika akan berkarya lukisan. Ingat saja karya-karya Vincent van Gogh (1853-1890), pelukis ekspresionis Belanda itu.

Semasa hidupnya yang pendek, ia telah menyelesaikan kira-kira 3000 sketsa di samping 800 lukisan cat minyak. Baginya sikap membuat gambar atau sketsa sama dengan sikap membuat lukisan. Perasaan dan emosi sangat memegang peranan. Begitulah, karya-karya sketsanya sebagai gambar ekspresif. Dari sisi intensitas ekspresivitas, sejumlah karya sketsa beberapa pelukis bahkan tampil lebih kuat dan menarik, meski hanya berupa goresan-goresan hitam putih atau sebagai gambar rencana lukisan sekalipun. Sketsa karya Poussin (1593-1665) yang berjudul “Massacre of the Innocents” misalnya, rasanya lebih menarik dari pada lukisannya dengan judul yang sama. Daya tarik dan kekuatan-kekuatan serupa juga dapat dijumpai pada karya-karya sketsa pelukis Delacroix (1798-1863), Tiepolo (1690-1770), bahkan juga pada sketsa karya Auguste Rodin (1840-1917) dan Henry Moore(1898-1986) pematung kenamaan itu.

II. Sebagaimana halnya dengan karya lukisan, sketsa memiliki keragaman tema, gaya dan teknik pengungkapannya. Perbedaan yang mencolok hanyalah pada medium pengucapannya.

Mengenai tema, sketsa lebih banyak dikaitkan dengan subjek yang diangkat dari penggarapan objek-objek out door, mengingatkan orang pada kaum impresionis di abad XIX dengan out door painting-nya itu. Dalam hal ini, pemandangan di luar seperti kebun, ladang, jalan-jalan, perkampungan padat, keramaian kota, bangunan-bangunan, dan kesibukan-kesibukan orang di pasar, merupakan objek-objek menarik yang menggugah penggambar atau pelukis untuk membuat sketsa melalui pengalaman melihat langsung. Rupanya kontak langsung melalui pengamatan untuk mendapatkan impresi dan mengembangkan imaji menjadi bagian penting dari proses penciptaan dan pemilihan tema dalam sketsa. Itulah sebabnya sketsa dipandang sebagai rekaman atas objek atau peristiwa yang menarik perhatian penggambarnya. Dengan proses kerja seperti itu, tentulah banyak diperoleh keuntungan. Antara lain mempertajam pengamatan, meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengkoordinasikan antara hasil pengamatan dengan keterampilan tangan. Di lembaga-lembaga pendidikan seni, sketsa masih dipercaya sebagai latihan-latihan yang wajib dilakukan bagi mahasiswa, dalam rangka menumbuhkan dan mengkukuhkan keprofesionalannya.







Dalam perkembangannya, sketsa kemudian tidak hanya menampilkan objek-objek nyata yang kasat mata dan dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari, melainkan terjadi perkembangan tema-tema sketsa. Munculah tema sketsa yang lebih merupakan pernyataan imaji, impian, kesan-kesan, dan pikiran-pikiran penciptanya dan lebih abstrak. Sketsa pelukis Nashar (1928- ) misalnya, yang dipamerkan di Jakarta tahun 1976, dipandang Putu Wijaya telah membebaskan garis sebagai batas dari wadag. Garis tersebut telah dibiarkan hidup sebagai garis, menjadi wadag itu sendiri dalam kubungannya dengan kesan-kesan yang diperoleh batin pelukisnya. Atau dapat saja kesan-kesan dalam pelukis Oesman Effendi yang amat subjektif atas apa yang diamatinya itu, mewujudkan sketsa-sketsa yang hilang sosoknya dan berubah menjadi permainan irama garis. Rudi Isbandi ( 1937- ) pelukis asal Surabaya, pernah membuat sketsa berjudul “Kali Mas” dan yang tinggal dalam karyanya hanyalah berupa garis-garis seperti kawat namun sangat esensial, sehingga menjadi abstrak. Pelopor lukisan abstrak Indonesia, Fajar Sidik (1930- ) membuat sketsa-sketsanya terbebas dari kenyataan visual dan bergaya abstrak.

Mengenai gaya sketsa, hampir penciptanya mengembangkan gaya pribadi masing-masing sesuai dengan cita rasa dan tanggapannya atas lingkungan. Tetapi sebagai kecenderungan cara dan corak ungkapan karya, barangkali dapat dikelompokkan menjadi beberapa saja.

Untuk menyebut kecenderungan yang berkembang di sekitar kita, aganya dapat dikelompokkan menjadi sketsa yang bercorak figuratif, baik yang realistis, ekspresionistis, maupun dekoratif, kemudian corak surealistis-imajinatif dan corak abstrak.

Ipe Ma’roef dan kebanyakan pelukis sketsa, karya-karyanya dapat dikelompokkan ke dalam sketsa figuratif-realistis. Corak figuratif-realistis meski dimanifestasikan dengan garis yang sederhana dan hemat, secara keseluruhan menunjukkan hasil pengamatan yang cermat atas objek nyata dan masih setia pada proporsi, anatomi, dan gejala perspektif sebagaimana yang diberikan oleh alam atau kenyataan visual.

Jika karya-karya sketsa Ipe kebanyakan termasuk corak figuratif-realistis, sketsa-sketsa Affandi (1907-1988), Nyoman Gunarso (1944- ) dan Suwaji (1942- ) merupakan contoh sketsa figuratif ekspresionistis. Pada corak sketsa ini didorong oleh gejolak emosi dan spontanitas yang kuat, sosok atau bentuk-bentuk yang digambarkan mengalami pendistorsian. Tubuh orang, misalnya, dibuat meliuk-liuk mengikuti irama dan getaran emosi sehingga mengesampingkan proporsi yang wajar. Pelukis Widayat (1923- ) membuat sketsa figuratif-dekoratif dan surealistis-dekoratif. Kegemarannya melakukan stilisasi dan gubahan-gubahan ornamentik dalam lukisannya, menampak pula pada karya sketsanya.

Sketsa surealistis yang naïf kekanak-kanakan, yang menggambarkan alam bawah sadar dan penuh khayalan serta terasa absurd dapat dilihat pada karya pelukis muda Eddie Hara (1957- ). Jika Nashar dan Oesman Effendi membuat sketsa-sketsa semi abstrak, Fajar Sidik dan beberapa perupa muda membuat sketsa abstrak murni. Sketsa Fajar Sidik berupa pola-pola bidang organis yang tertata secara ritmis, mengingatkan pada lukisannya “Dinamika Keruangan” yang menjadi gayanya yang khas.

Dalam perjalanannya, dilihat dari segi teknik, sketsa belum seanekaragam lukisan. Barangkali karena pada sketsa, penggambarannya hanya mengandalkan garis sebagai medium pengucapannya. Soal garis, Read (1959) pernah bilang bahwa garis merupakan sarana yang paling singkat dan abstrak untuk melukiskan mutu objek.

Melalui garis, dapat dibangun raut atau bentuk, bidang, tekstur, ruang, atau gelap terang dengan arsir dan garis-garis silang, misalnya. Unsur warna, dapat saja dihadirkan dalam karya sketsa. Tetapi pada dasarnya warna garislah yang lebih berbicara. Justru penyajian hitam-putih merupakan kekuatan sketsa.

Membicarakan soal teknik tak dapat dilepaskan dari penggunaan bahan, alat, serta proses penyajian karya. Bahan dan alat yang sering disebut media, dalam penciptaan sketsa biasanya adalah pensil dan arang serta media kering lainnya, juga tinta, yang menggunakan kuas, pena atau alat lain sebagai media basah. Pensil dan arang merupakan media yang fleksibel serta dapat menghasilkan jejak-jejak yang cukup bervariasi. Namun kecuali mudah terhapus, umunya nilai kepekatannya kurang.

Penggunaan media basah dalam sketsa menampilkan goresan yang pekat, jelas, dan memiliki kemungkinan untuk divariasikan pula penggunaannya. Adakalanya kepekatan garis-garis dipadukan dengan cara bilas, yaitu membasahi atau menyapukan kuas basah dengan air. Cara demikian, dapat memperoleh objek efek khusus dan variasi nada atau nilai gelap terang, karena goresan tinta menjadi luntur dan mengembang. Tetapi upaya-upaya ini dalam sketsa dilakukan tidak untuk kepentingan membuat rincian yang berlebihan; sketsa yang baik haruslah tetap sumir dan menghindari penyajian rincian yang kurang esensial.

Bagaimanapun, garis merupakan unsur rupa yang fundamental dan potensial dalam karya sketsa, ia tidak semata membentuk kontur. Potensi lain dari garis ialah kemampuannya mengekspresikan gerakan-gerakan, ruang atau kedalaman, dan mengesankan massa bentuk. Potensi-potensi inilah yang harus dikuasai oleh pembuat sketsa beserta pemilihan dan pemanfaatan media dalam mencapai nilai-nilai artistik karya.

Terdapat dua pendekatan dalam menggunakan garis sebagai medium ungkapan sketsa. Pertama, pendekatan kontur dan yang kedua pendekatan gestur.

Pada pendekatan kontur, sketsa dihadirkan dengan garis-garis tunggal seakan tak terputus, sebagai batas yang mengelilingi bentuk subjek-subjeknya, tanpa harus kehilangan spontanitasnya. Garis-garis yang dikerjakan secara free-hand itu, tampak eksplesit, tajam dan presisi. Tak ada garis yang salah. Tak ada garis yang diulang dan berlebihan, apalagi arsir dalam sketsa itu. Picasso (1881-1973), Henri Matisse menciptakan sketsa dengan cara ini. Meski garis-garis mereka dibuat dengan tarikan sekali jadi dan dengan ketebalan yang sama, dengan susunan tertentu dan pemenggalan-pemenggalan kontur di tempat-tempat yang pas, dapat dihadirkan kesan ruang dalam sketsanya. Pengaturan bagian-bagian yang kosong menjadi penting dalam menyatakan kesan ruang. Demikianlah, tarikan garis sekali jadi amat menentukan dalam sebuah sketsa. Ipe mengibaratkan sketsa sebagai teater. Sekali pemain muncul di panggung, tak ada kesempatan untuk meralat kekeliruan, lain dengan dunia film yang diibaratkan melukis dengan cat minyak.

Pada pendekatan gestur, sketsa dibentuk oleh garis-garis yang dihadirkan dengan gesekan-gesekan tangan secara kontinyu sepanjang proses penciptaan. Dengan cara ini, bentuk sketsa lebih merupakan impresi tetapi mencitrakan gerak dan bentuk menjadi mengabur, karena dibangun oleh garis riuh bertindihan dan liar, sejalan dengan reaksi emosi yang bergelora ketika penggambarnya menghadapi objek. Jika dengan pendekatan kontur bentuk dirumuskan dengan garis tunggal, pada pendekatan gestur disugestikan dengan garis-garis jamak. Pelukis-pelukis seperti Vincent van Gogh, Daumier (1808-1879) atau Affandi membuat sketsa dengan pendekatan gestur. Baik pendekatan kontur maupun gestur, proses penggarapan sketsa dilakukan dengan teknik langsung (direct method), dalam arti dikerjakan sekali jadi tanpa melalui tahapan-tahapan. Oleh karena itu waktu pengerjaannya berjalan dengan singkat, tetapi dengan segenap jiwa yang intens dan total.

III. Demikian, sebagai bentuk ungkapan pengalaman estetis, sketsa memiliki karakteristik kegarisan, sumir, esensial, dikerjakan secara langsung dan spontan dalam waktu singkat. Ia tidak semata berupa kontur dan garis gestur yang riuh tanpa arti, ia tidak hanya rekaman objek, melainkan ungkapan emosi dan kesan-kesan dalam sampai pada ke tingkat esensi objek, bahkan hingga bernilai simbolik untuk menyatakan gagasan dan khayalan penciptanya. Ia dapat mempresentasikan kenyataan fisik yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari sampai kepada pernyataan dunia batin yang lebih dalam dan abstrak.

Sungguh merupakan upaya yang perlu disambut dengan gembira, bila ada beberapa pihak yang mendukung dan menerbitkan kumpulan karya-karya sketsa, khususnya sketsa dengan objek arsitektur stasiun K.A Tawang yang dikerjakan sepuluh mahasiswa pemenang lomba sketsa baru-baru ini. Mudah-mudahan dapat meningkatkan apresiasi dan berdampak luas menggerakkan dunia sketsa yang semakin lesu.
Semoga…!






Daftar Pustaka

Bentara Budaya Jakarta. 1995. Garis dan Warna: Proses Kreatif Ipe Ma’roef. Jakarta: PT. gramedia Pustaka Utama
Bersinar Lubis. 1995. “Goresan sebuah Puncak”, artikel dalam Gatra 22 Juli 1995
Meyers S. Berray, 1969. Understanding the Arts. New York: Rinehart & Winst
Peter & Linda Murray. 1988. Dictionary of Art & Artists. London: Penguin Book
Read, Herbert. 1959. The Meaning of Art. Toronto: Penguin Book Ltd
Schinneller, J.A. 1966. Art Search and Self Discovery. Pensylvania: International Text Book Company
Sidik, Fajar & Aming P. 1981. Desain Elementer. Yogyakarta: STSRI ASRI
Simon, Howard. 1968. Teghniques of Drawing. New York: Dover Publiations Inc
Sunaryo, Aryo. 1990. “Garis, Medium Ungkapan yang Potensial”. Makalahdalam diskusi dalam rangka pergelaran seni di IKIP Ujung Pandang
Toney, Anthony. 1966. Creative Painting and Drawing. New York: Dover Publiations Inc.
Wijaya, Putu. 1976. “Kesan-kesan Dalam” Artikel dalam Tempo 27 November 1976 Wijaya, Putu. 1976. Sketsa-sketsa Henk Ngantung, dari Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan






Friday, May 24, 2013

Lagu Lir ilir

  • PENDAHULUAN
Lagu Lir ilir adalah salah satu karya besar Sunan, ada yang mengatakan ciptaan Sunan Kalijogo, ada yang mengatakan ciptaan Sunan Giri, bahkan ada yang mengatakan ciptaan Sunan Ampel. Lagu in digunakan oleh Walisongo sebagai sarana dakwah. Karyanya ini sangat dikenal oleh para masyarakat terdahulu hingga kini, karena lagu ini mengandung makna yang patut untuk diteladani dan mudah dicerna orang zaman dahulu karena mengandung unsur kebudayaan jawa.
  • SYAIR  LAGU LIR  ILIR

Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon – cah angon,
Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu ya penekno,
Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro – dodotiro,
Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Yo suraka, surak hiyo.
  • URAIAN  MAKNA  LAGU  LIR  ILIR
Berikut adalah penjabaran makna yang terkandung dalam syair tembang Lir Ilir, berdasarkan beberapa sumber penulis :
Bait pertama menggambarkan mulai bangkitnya islam
Bait kedua perintah menjalankan rukun islam dan perintah-perintahNYA
Bait ketiga yaitu anjuran untuk bertaubat dari segala maksiat yang diperbuat
Bait keempat adanya hasil baik yang didapat bila mau berusaha dengan baik.
Selanjutnya di bawah ini adalah uraian makna lagu Lir ilir dari tiap barisnya
- Lir-ilir, Lir-ilir
Tandure wus sumilir
Artinya : Bangunlah, bangunlah tanamannya sudah tumbuh.
>Dalam baris ini maksud dari bangunlah yang diulang dua kali adalah menyuruh untuk segera bangun.
>Tanamannya sudah tumbuh, yang di maksud tanaman adalah agama islam.
Jadi maksud dari bait ini adalah menyerukan kepada umat untuk segera bangun dari keterpurukan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit pada masa itu, karena islam telah datang menaungi seluruh masyarakat.
- Tak ijo royo-royo,
Artinya : Bagaikan warna hijau yang menyegarkan.
Warna hijau disini, menggambarkan agama islam yang sering dilambangkan dengan warna hijau, menampakkan penampilan Islam yang menyenangkan. Juga menggambarkan tanaman yang tumbuh subur nan hijau, dimana iman yang di pelihara dengan baik, maka akan tumbuh dengan baik seperti tanaman yang tumbuh subur dan lebat.
Selain itu, apabila iman seseorang di kotori dengan perbuatan maksiat, maka akan merusak iman seseorang. Sama halnya dengan tanaman yang akan rusak bila terganggu hama, maka harus dihilangkan dengan memberikan anti hama, seperti hati yang akan kembali bersih dengan berbagai penawar hati, misalnya ;
-          Membaca Al qur’an
-          Memperbanyak dzikir
-          Menghadiri pengajian
-          Berpuasa sunnah
-          Dan lain lain
- Tak sengguh temanten anyar
Artinya : Bagaikan pengantin baru
Pengantin baru adalah sepasang mempelai, yang umunya sedang bahagia menempuh hidup barunya. Kalimat ini bermaksudkan kebahagiaan seorang muslim bagaikan kebahagiaan sepasang mempelai dalam menapaki keyakinan imannya.
- Cah angon – cah angon
Penekno blimbing kuwi
Artinya : Anak gembala – Anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu
>Anak gembala disini maksudnya pemimpin yang menjadi contoh bagi pengikutnya.
>Mengapa buah belimbing? Buah belimbing memiliki lima sisi, yang menggambarkan rukun islam dan sholat lima waktu




Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:  سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ و إِقَامُ  الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ  الْبَيْتِ  وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Artinya : Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khottob radiallahuanhuma dia berkata : Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan. (Riwayat Turmuzi dan Muslim)
Jadi yang dimaksud syair ini, bahwa seorang pemimpin haruslah menjadi contoh yang baik untuk pengikutnya, yaitu dengan menjalankan rukun islam dan sholat lima waktu
>Anak gembala juga dapat diartikan sebagai diri kita, dimana penggembala pasti memiliki gembalaan, dan bagi manusia gembalaannya adalah nafsunya. Diharapkan manusia dapat menggembalakan nafsunya dengan baik, agar tidak merusak dan melanggar aturanNYA sehingga merusak imannya.
- Lunyu-lunyu ya penekno
Artinya : meskipun licin, tetap panjatlah
>Baris ini berhubungan dengan baris sebelumnya (panjatlah pohon belimbing itu). Licin dalam baris ini adalah penghambat bagi si pemanjat (cah angon), yang apabila tidak berhati-hati dan bersungguh-sunggu maka akan mudah tergelincir. Sama halnya dalam perintah agama, apabila tidak berhati-hati dari maksiat bisa tergelincir ke dalam lubang dosa. Analogi ini seperti jalan turun yang lebih mudah di bandingkan jalan naik, untuk memanjat dan mendapatkan buah belimbing akan mendapat banyak halangan, tidak seperti jalan turun yang lebih mudah. Analogi tersebut menggambarkan jalan untuk mendapatkan buah syurga memang tidak mudah, semudah jalan turun ke neraka, namun cah angon yang mau berusaha dengan sebaik-baiknya maka akan mendapatkan kebahagiaan abadi.
- Kanggo mbasuh dodotiro
Artinya : Untuk membasuh kain dodot
>Dodot adalah semacam kain kebesaran jaman dahulu yang di gunakan pada acara-acara keratin dan menurut orang jawa, pakaian adalah lambing agama. Pohon belimbing mengandung kadar keasaman yang pada zaman dahulu sering di gunakan untuk merawat kain batik agar tidak mudah rusak dan awet. Dengan maksud lain, islam adalah pembersih hati dan mensucikan kepercayaan manusia dengan rukun islam yang dituntunkan oleh ALLAH.
- Dodotiro – dodotiro
Kumitir bedah ing pinggir
Artinya : Kain dodotmu – kain dodotmu, telah rusak dan robek
>Telah disebutkan sebelumnya, dodot adalah kain dan pakaian merupakan lambang agama. >Dalam hal ini dilambangkan kain dodot yang telah rusak dan robek. Karena kemajuan zaman yang menyebabkan kemerosotan moral manusia, maka rusaklah agama dan akhlaq manusia seperti robeknya kain dodot tersebut.
Sumber lain menyebutkan, kumitir artinya kain yang tertiup angin dan terlihat sobek dipinggirannya. Zaman dahulu ketika raja-raja telah memeluk agama islam, masyarakat pinggiran belum terlalu mengerti islam, masih bercampur dengan kebiasaan nenek moyang yang menganut hindu jawa. Jadi pinggiran kain dodot yang robek disini maksudnya adalah para masyarakat pinggiran yang belum terlalu memahami islam, inilah tugas besar yang diemban oleh para pemimpin.
- Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.
Artinya : Jahitlah, tisiklah untuk menghadap nanti sore
>Masih berhubungan dengan baris sebelumnya, bahwa Sunan Kalijaga memerintahkan untuk menjahit kain dodot yang robek. Masih seperti di atas, kain dodot maksudnya adalah agama maka maksud perintah Sunan Kalijaga adalah untuk memperbaiki agama.
>Makna untuk menghadap nanti sore, ‘nanti sore’ maksudnya waktu senja yaitu akhir perjalanan hidup, atau menjelang ajal.
Jadi maksud baris ini, diperintahkan kepada manusia untuk memperbaiki agamanya dari berbagai macam maksiat untuk mempersiapkan diri ketika menghadap Illahi nanti.
- Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Artinya : Selagi masih terang bulannya, selagi masih luas lapangannya
>Terang bulan jelas ada saat malam hari. Tanpa bulan, malam hari akan gelap gulita dan tidak dapat membedakan yang hak dan yang bathil, disinilah maksud sinar bulan adalah agama Islam yang menerangi kegelapan, sehingga dengan sinar bulan (Agama Islam) manusia akan dapat membedakan yang baik dan yang buruk.
>Selagi masih luas lapangannya, maksudnya selagi masih ada waktu untuk memperbaiki.
Sehingga bila digabungkan, Agama Islam telah memberikan tuntunan kepada kita didunia, maka manfaatkanlah waktu yang diberikan untuk menjadi muslim yang sebaik-baiknya sebelum waktu kita didunia habis.
- Yo suraka, surak hiyo.
Artinya : ya, bersoraklah, berteriak-lah iya
Baris terakhir ini merupakan ajakan untuk bersorak bahagia. Berbahagialah bagi orang yang mampu menjaga agamanya dengan baik. Berbahagialah bagi ‘cah angon’ yang mampu memanjat hingga mendapatkan buahnya (surga), sambut seruan Islam dengan bahagia.
Di dalam Al qur’an surat Al Anfaal ayat 24 disebutkan :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu ….
  • KESIMPULAN
Lagu ini menyimpan makna dan pelajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Bila disimpulkan menjadi satu bagian, Lagu Lir ilir menggambarkan bahwa kala itu Islam baru saja berkembang di pulau jawa khusunya. Dimana kerajaan majapahit baru saja runtuh dan masyarakat masih didominasi oleh agama nenek moyang, yaitu hindu jawa.
Agama Islam digambarkan dengan tanaman yang berwarna hijau, menampakkan penampilan Islam yang menyenangkan, dan bagi seorang muslim patutlah berbahagia seperti bahagianya sepasang pengantin baru.
Lagu ini menganalogikan seorang penggembala (cah angon) mewakilkan makna diri kita yang memiliki gembalaan nafsu, diharapkan manusia dapat menggembalakan nafsu dengan baik. Cah angon juga diartikan sebagai pemimpin yang menjadi contoh para pengikutnya, diharapkan seorang pemimpin mengamalkan rukun islam sehingga akan menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya, rukun islam dilambangkan dalam buah belimbing yang memiliki lima sisi.
Dalam mempertahankan iman tidaklah mudah, pasti ada rintangan dalam menjaga keimanan. Karena jalan menuju neraka memang lebih mudah di banding menuju syurga. Seperti analogi dalam lagu ini, perintah untuk memanjat pohon meskipun susah mencapai buahnya (surga).
Selanjutnya analogi dalam kain dodot, yang merupakan pakaian kebesaran di kraton. Menurut orang jawa pakaian adalah lambang agama yang biasanya dirawat dengan mencucinya menggunakan buah belimbing. Seperti halnya agama yang harus dipelihara dan dirawat keimanannya. Kain dodot yang telah rusak dan robek diga,barkan seperti telah merosotnya iman seseorang, sehingga merusak keimanannya, maka kain ini harus di jahit dan diperbaiki. Keimanan harus kembali diperbaiki untuk menghadap Illahi pada akhir hayat nanti. Selagi masih ada waktu dan kesempatan dan waktu. Dan berbahagialah bagi para muslim yang memelihara keimanannya.

Saturday, May 11, 2013

Kesenian Wayang Golek



Asal-usul


Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.







Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988). Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

Jenis-jenis Wayang Golek

Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.


Wayang Golek Cepak 

Wayang golek cepak adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ada di Indramayu dan Cirebon. Golek artinya boneka sedangkan kata cepak diambil dari bentuk kepala (mahkota) wayang yang papak (rata). Karena bentuk inilah jenis kesenian ini dinamakan wayang golek cepak. Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Gunung Djati sebagai media dakwah.










Berbeda dengan wayang kulit purwa, dalam wayang golek cepak tidak dikenal tokoh seperti Arjuna atau Shinta. Tokoh-tokoh yang ada dalam wayang golek cepak adalah subjek yang ada dalam babad atau sejarah. Maka dikenallah Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggjl, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-lain. Dengan demikian, wayang ini sesungguhnya teater sejarah, panggung pendidikan. Dengan kata lain, ia sebuah diorama yang bergerak. Selain grup "Sekar Harum" pimpinan dalang Ki Ahmadi, ada juga grup dan dalang kesenian wayang golek lainnya. Mereka adalah Dalang Warsyad dengan gmp "Jaka Baru" dari Gadingan Sliyeg dan dalang Ki Tayut dari Desa Juntinyuat dengan nama grupnya "Sri Budi". Ki Tayut boleh dikatakan dalang senior untuk wayang golek cepak. Ia kemudian mewariskan ilmu dan perangkat keseniannya kepada anak dan cucunya, antara lain Taram, Asmara, dan Tarjaya.Setali tiga uang, nasib grup kesenian dan dalangnya sama; dalam titik nadir.




Wayang Golek Purwa


Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogjakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya. Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau, yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.













Pembuatan Wayang Golek




Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.  




Nilai Budaya 

Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

DP

Daftar Suku-suku Di Indonesia

Berikut ini kurang lebih ada 787 suku di Indonesia :






Suku
Abui, Barue
Abun, Karon Pantai
Aceh
Adang
Adonara
Aghu
Aikwakai, Sikaritai
Airoran, Adora
Aiso, Kais
Aji
Alas
Alorese
Alune, Sapalewa
Amahei
Amanab
Amarasi
Ambai
Ambelau
Amber, Waigeo
Amberbaken, Dekwambre
Ambonese
Americans, U.S.
Ampanang
Anakalangu
Andio, Masama
Aneuk Jamee
Ansus
Anus
Arab, generic
Aralle-Tabulahan
Arandai, Jaban
Arguni
As
Asienara, Buruwai
Asilulu
Asmat, Casuarina Coast
Asmat, Central
Asmat, Northern
Asmat, Yaosakor
Auye
Awbono
Awera
Awyi, Awye
Awyu, Jair
Awyu, Nohon
Awyu, South
Ayamaru, Brat
Babar, North
Babar, Southeast
Baburiwa, Barua
Badui
Baduy
Bagusa
Baham, Patimuni
Bahau
Bahonsuai
Bajau
Bakumpai
Balaesan
Balantak
Baliaga, Highland Bali
Balinese
Bambam, Pitu Ulunna Salu
Banda, Eli-Elat
Banggai
Bangka
Banjar
Bantik
Bapu
Barakai, Workai
Barapasi
Baras
Basap, Bulungan
Baso
Batak Angkola
Batak Dairi
Batak Karo
Batak Pakpak
Batak Simalungun, Batta
Batak, Silindung
Batak, Toba
Bati
Batu, Nias
Batui
Bauri, Bauzi
Bawean
Bayono
Bedoanas
Behoa, Bada
Beketan, Bakatan
Belagar, Tereweng
Belide
Belitung
Bengkulu
Bengoi, Isal
Bentong
Berau
Berik
Besemah
Betaf
Betawi
Biak, Numfor
Biga
Biksi
Bilba
Bintauna
Biritai
Boano
Bobongko
Bobot, Atiahu
Bolango
Bolano
Bolongan
Bonefa, Nisa
Bonerate
Bonerif
Bonfia, Masiwang
Bonggo, Armopa
Borai
British
Budong-Budong, Tangkou
Bugis
Bukar Sadong, Tebakang
Bukat
Bukit
Bulango, Bulanga-Uki
Buli
Bunak, Mare
Bungku
Buol
Burate
Buru, Boeroe
Burusu
Busami
Busoa
Campalagian
Cia-Cia, South Butonese
Citak Asmat, Cicak
Citak, Tamnin
Dabe
Dai
Dakka
Damal, Amung
Damar, East
Damar, West
Dampelas
Dani, Lower Grand Valley
Dani, Mid Grand Valley
Dani, Upper Grand Valley
Dani, Western
Dao
Davelor, Dawera-Daweloor
Daya
Dayak, Dohoi Ot Danum
Dayak, Kaninjal
Dayak, Kendayan
Dayak, Lawangan
Dayak, Maanyak, Ma'anyan
Dayak, Malayic
Dayak, Ngaju, Biadju
Dayak, Pasir
Dayak, Taman
Dayak, Tawoyan
Dayak, Tidung
Dayak, Tunjung
Deaf
Dela-Oenale
Dem
Demisa
Demta
Dengka
Diuwe
Dobel, Kobroor
Dondo
Dou, Edopi
Duano
Dubu
Duri
Duriankere
Dusan, Kwijau
Dusun Deyah
Dusun Malang
Dusun Witu
Dutch
Duvele, Duvre
Eipomek
Ekagi, Ekari
Elpaputi
Embaloh, Mbaloh
Emplawas
Emumu, Emem
Ende, Endehnese
Engganese
Enim
Enrekang, Maiwa
Erokwanas
Fayu
Filipino, Tagalog
Fordat, Fordate
French
Fuau
Galela, Halmahera
Gamkonora
Gane
Gayo
Gebe, Umera
German
Geser-Gorom
Gilika
Goliath, Oranje-Gebergte
Gorap
Gorontalo
Gresi
Hahutan, Iliun
Hamap
Han Chinese, Cantonese
Han Chinese, Hakka
Han Chinese, Mandarin
Han Chinese, Min Dong
Han Chinese, Min Nan
Haruku
Hatam, Tinam
Helong
Hindi
Hitu
Horuru
Huaulu
Hupla
Iban
Ibu
Iha, Kapaur
Ile Ape
Iliwaki, Talur
Imroing
Inanwatan, Suabo
Indonesian
Irahutu, Irutu
Iresim
Iria
Isirawa, Saberi
Itik, Borto
Jahalatane, Atamanu
Jambi
Japanese
Java Banten
Java Banyumasan
Java Mancanegari
Java Negarigung
Java Osing, Banyuwangi
Java Pesisir Kulon
Java Pesisir Lor
Java Serang
Javanese
Jew, Indonesian
Jofotek-Bromnya
Kabola, Pintumbang
Kaburi
Kadai
Kafoa
Kaibubu
Kaidipang
Kaili Ledo
Kaili Unde
Kaili Unde, Daa
Kaimbulawa
Kaiwai, Adi
Kalabra
Kalao
Kaledupa
Kalumpang, Makki
Kamaru
Kamberataro, Dera
Kamoro, Kamora
Kamtuk, Kemtuk
Kangean
Kanum
Kanum, Smarky
Kanum, Sota
Kapauri
Kaptiau
Karas
Karon Dori, Meon
Kau, Kao
Kaugat, Atohwaim
Kaur
Kaure
Kauwerawec
Kawe
Kayan, Busang
Kayan, Kayan River
Kayan, Mahakam
Kayan, Mendalam
Kayan, Wahau
Kaygir, Kayagar
Kayu Agung
Kayupulau
Kedang
Keder
Kehu
Kei, Tanimbarese
Kelabit
Kelong, Panggar
Kemak
Kemberano
Kenyah, Bahau River
Kenyah, Kayan River
Kenyah, Kelinyau
Kenyah, Mahakam
Kenyah, Upper Baram
Kenyah, Wahau
Keo
Kepoq
Kerei, Karey
Kerinci
Ketum
Kikim
Kimaghima
Kioko
Kirira, Kirikiri
Kluet
Koba
Kodeoha
Kodi
Kofei
Kohin
Kokoda, Samalek
Kola
Kolana-Wersin, Alorese
Kombai
Komering
Komfana
Komodo
Komyandaret
Konda
Koneraw
Konjo Coastal
Konjo Pegunungan
Korapun, Kimyal
Korapun-Sela
Koroni
Korowai
Kosare, Kosadle
Kota Bangun Kutai
Kotogut
Kubu, Orang Darat
Kui, Kui-Kramang
Kulawi, Moma
Kulisusu
Kumberaha
Kupang
Kupel, Ketengban
Kur
Kurima
Kurudu
Kutai
Kwansu
Kware
Kwerba, Airmati
Kwerisa, Taogwe
Kwesten
Kwinsu
Laha, Central Ambonese
Laiyola, Barang-Barang
Lamaholot, Solorese
Lamalera
Lamatuka
Lamboya
Lamma
Lampung Abung
Lampung Pesisir
Lampung Pubian
Lampung Sungkai
Lampung Way Kanan
Land Dayak
Land Dayak, Bekati
Land Dayak, Benyadu
Land Dayak, Biatah
Land Dayak, Djongkang
Land Dayak, Kembayan
Land Dayak, Lara
Land Dayak, Ribun
Land Dayak, Sanggau
Land Dayak, Semandang
Larike-Wakasihu
Lasalimu
Latu
Laudje
Laura
Leboni, Rampi
Legenyem
Lematang
Lembak
Lembata, West
Lemolang
Lepki
Leti
Levuka
Lewo Eleng
Li'o, Lionese
Liabuku
Liana
Liki
Linduan
Lintang
Lisabata-Nuniali
Lisela
Lola, Warabal
Lolak
Lole
Loloan-Malay Bali
Loloda, North
Loloda, South, Laba
Lom, Maporese
Lonchong, Orang Laut
Lorang
Loun
Luang, Letri Lgona
Lubu
Luhu, Kelang
Lundayeh, Lun Bawang
Luwu
Ma'ya, Salawati
Maba, Bitjoli
Maden, Sapran
Madole
Madura
Mairasi, Faranyao
Mairiri
Maiwa
Makassar
Makian Barat
Makian Timur
Maklew
Malay
Malay, Bacanese
Malay, Banda
Malay, Ketapang
Malay, Larantuka, Ende
Malay, North Moluccan
Malay, Papuan
Malay, Pontianak
Malay, Riau
Malay, Sambas
Malay, Sumatera Utara
Malimpung
Mamak, Talang
Mamasa, Mamasa Toraja
Mamasa, Southern, Pattae'
Mamboru
Mamuju
Mandailing
Mandar
Mander, Foya
Mandobo Atas
Mandobo Bawah
Manem, Jeti
Manggarai
Mangole
Manikion, Mantion
Manipa, Soow Huhelia
Manusela, Wahai
Marau
Marengge
Marind, Bian
Marind, Southeast Marind
Masela, Central
Masela, East
Masela, West
Masimasi
Massep
Matbat
Mawes
Mbojo
Meax, Mejah
Mekwei, Menggwei
Menadonese
Meninggo, Moskona
Mentawaian, Siberut
Meoswar
Mer
Minangkabau, Padang
Modang
Moi, Mosana
Molof
Mombum
Momina
Mongondow
Moni, Jonggunu
Mor
Moraid
Morari, Moraori
Mori Atas, West
Mori Bawah, East
Mori, South, Padoe
Moronene, Maronene
Morop, Iwur
Morwap
Mualang
Muko-Muko
Muna
Munggui
Murkim
Murut, Okolod
Murut, Selungai
Murut, Sembakung
Murut, Tagal, North Borneo Murut
Musi
Muyu, North
Muyu, South
Nabi
Nafri
Nage
Nakai
Naltya, Nalca
Napu
Narau
Nasal
Ndaonese
Ndom
Nduga, Dawa
Nedebang
Ngada
Ngada, Eastern
Ngalik, South
Ngalum, Sibil
Nggem
Niassan, Nias
Nila
Nimboran
Ninggerum, Kativa
Nipsan
Nobuk
Nuaulu, North
Nuaulu, South
Nusa Laut
Obokuitai
Ogan
Oirata
Onin, Sepa
Ormu
Pago, Pagu
Paku
Palembang
Palue
Pamona, Poso Toraja
Panasuan, To Pamosean
Pancana
Pannei
Papasena
Papuma
Pasemah
Patani-Maba
Paulohi
Pauwi, Yoke
Pegagan
Pekal
Pendau, Umalasa
Penesak
Penghulu
Penihing, Aoheng
Perai
Pisa, Awyu
Podena
Pom
Ponasakan
Punan Aput
Punan Bungan, Hovongan
Punan Keriau, Kereho-Uheng
Punan Merah
Punan Merap
Punan Tubu
Puragi
Putoh
Pyu
Rahambuu
Rajong
Rambang
Ranau
Rasawa
Ratahan, Bentenan
Rawas
Rejang
Rembong
Retta
Riantana
Ringgou
Riung
Roma
Ron
Rongga
Rongkong
Rotinese, Tii
Sa'ban, Saban
Sabu, Havunese
Sahu, Sau
Sajau Basap
Salas, Liambata
Saleman, Hatue
Saluan, Coastal
Saluan, Kahimamahon
Samarkena, Tamaja
Sangir, Great Sangir
Sangir, Siau
Sangir, Tagulandang
Saparua
Sara
Sarudu
Sasak
Sasawa
Sauri
Sause
Sawai
Saweru
Sawila
Sawuy
Seberuang
Sedoa, Tawaelia
Segai
Seget
Seit-Kaitetu
Sekar
Seko Padang, Wono
Seko Tengah, Pewanean
Selaru
Selayar, Salajarese
Seluwasan
Semendo
Semimi, Etna Bay
Sempan
Senggi
Sentani, Buyaka
Serawai
Serili
Serua
Serui-Laut
Siagha-Yenimu, Oser
Siang
Sikhule, Lekon
Sikkanese
Simeulue
Simeulue Barat
Sindang Kelingi
Singkil
So'a
Sobei, Biga
Somahai, Sumohai
Sowanda, Wanja
Straits Chinese, Peranakan
Sukubatong, Kimki
Sula
Sumba
Sumbawa
Sunda
Suwawa
Tabaru
Tae', Toraja
Taikat
Taje, Petapa
Tajio, Kasimbar
Talaud
Taliabo-Mangei
Talondo
Taluki
Tamagario, Buru
Tamiang
Tamilouw, Sepa
Tanahmerah, Sumeri
Tangko
Tanglapui
Taori-Kei, Kaiy
Taori-So, Doutai
Tarangan, East
Tarangan, West
Tarpia
Tarunggare, Turunggare
Taurap, Burmeso
Tause
Tausug, Joloano Sulu
Taworta, Dabra
Te'un
Tefaro
Tehit, Tahit
Tela-Masbuar
Teluti, Silen
Tengger
Teor
Tepera, Tanahmerah
Tereweng
Termanu, Rotti
Ternate
Tetum
Tewa, Lebang
Tidore
Timorese, Atoni
Toala, East Toraja
Tobada, Bada
Tobelo
Tofamna
Tokuni
Tolaki, Asera
Tolaki, Konawe
Tolaki, Laiwui
Tolaki, Mekongga
Tolaki, Wiwirano
Toli-Toli
Tomadino
Tombelala
Tombulu Menadonese
Tomini
Tondanou, Tolour
Tonsawang
Tonsea
Topoiyo
Toraja-Sa'dan, South Toraja
Tountemboan
Towei
Trimuris
Tugun
Tugutil, Teluk Lili
Tulehu, Northeast Ambonese
Tumawo, Sko
Turks
Turu, Urundi
Tutunohan, Aputai
Ujir
Ulumanda
Uma, Pipikoro
Umalung
Uria, Warpu
Uruangnirin
Usku
Vanimo, Manimo
Vitou
Wabo, Woriasi
Wae Rana
Waioli, Wajoli
Wakatobi
Wakde
Walak, Lower Pyramid
Wambon
Wanam, Yale
Wandamen, Bentoeni
Wanggom
Wano
Wanukaka
Warembori
Wares
Waris
Warkay-Bipim
Waropen, Wonti
Waru
Watubela, Wesi
Watulai, Batuley
Wauyai
Wawonii
Wemale, North
Wemale, South
Weretai, Wari
Wewewa
Wodani
Woi
Woisika, Kamang
Wokam, Wamar
Wolio
Wotu
Wutung, Sangke
Yafi, Jafi Wagarindem
Yahadian, Nerigo
Yair
Yali, Angguruk
Yali, Ninia
Yaly, Pass Valley
Yamdena, Jamden
Yamna
Yaqay, Sohur
Yarsun
Yaur
Yava, Yapanani
Yei
Yelmek, Jab
Yeretuar
Yetfa
Yotafa, Tobati
Yotowawa, Kisar





DP